NETSEMBILAN.COM | CIANJUR - Aktivis senior angkatan 1984 yang juga pendiri Pusat Informasi Jaringan Reformasi (Pijar), Beathor Suryadi di acara Musyawarah Besar (Mubes) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cianjur yang bertempat di salah satu hotel di kawasan Puncak Cipanas, Cianjur, kembali mempertanyakan keabsahan ijazah sarjana mantan Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, dugaan ijazah palsu Jokowi muncul tidak dari ruang kosong, mainkan secara historis dirasakannya masuk akal dan patut digulirkan dan dijadikan isue publik.
"Bagi saya, kacurigaan palsunya ijazah Jokowi ini muncul sejak 2005 lalu saat melakukan pendaftaran Calon Walikota Solo. Disana yang diberikan hanya foto copyan ijazah saja," ujar Beathor. Sabtu (19/07/2025).
Berakhir mengatakan, selama menjabat Walikota Solo, dia (Jokowi/red) tidak pernah sama sekali mengundang teman - teman kampusnya dulu di Universitas Gajah Mada. Demiak pula tidak pernah kumpul bareng dengan sesama kelompok mahasiswa pencinta alam.
"Nah, ternyata, semua itu jawabannya ada di Pasar Pramuka Jakarta," katanya disertai tepuk tangan hadirin.
Bethor Suryadi yang pada masa Orde Baru sering keluar masuk tahanan, bahkan jeruji penjara karena menyuarakan kebenaran, tentunya sangat mudah pula mengemukakan ketidak beresan yang dilakukan penguasa saat ini. Baginya, kebenaran harus terus disuarakan. Apapun resikonya.
"Saya ini, pertama masuk penjara Tahun 1993 kasus penolakan pembredelan Tempo, lalu kasus penolakan kenaikan tarif listrik dan kasus lainnya, baik yang cuma ditahanan Polda hingga penjara," tukas Beathor.
Sementara Doktor Dedi Mulyadi, akademisi Universitas Suryakencana Cianjur menegaskan, kasus isue ijazah ini memang luar biasa. Namun demikian, dalam pandangan hukum, siapapun yang mendalilkan bahwa, ijazah Jokowi ini palsu maka, yang bersangkutan pulalah yang berkewajiban untuk melakukan pembuktiannya.
"Dalam hal ini, pigur pigur seperti Roy Suryo dan kawan - kawan kewajiban dalam hal pembuktiannya juga," ujar Dedi.
Dosen yang juga mantan aktivis 1998 ini pun membahas bergulirnya gerakan pemakjulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Untuk isue yang gelontorkan terus oleh kalangan media ini, patokannya sudah jelas. Misalnya melanggar undang-undang, melanggar sumpah jabatan, membocorkan rahasia negara, sakit dan meninggal dunia.
"Namun, isue pemakzulan ini rupanya kurang mendapatkan perhatian para elit politik," katanya.
Dipaparkannya, proses ataupun ikhtiar dari para pengusung pemakzulan ini, jelas harus melalui jalan panjang dan usaha keras para jendran pengusung isue. Namun demikian, syarat - syaratnya yang terlalu banyak akan agak sulit sepertinya akan mentok di ruang politik.
"Ketua DPR RI saja dengan santai menjawab bahwa, pihaknya belum menerima laporannya," tandasnya. (Ruslan Ependi)
